Selasa, 11 Oktober 2011

After the Day


Itulah harinya. Hari di kala duniaku berputar dan terhempas. Luruh bersama gerimis dan dedaun kering yang gersang. Hilang seketika diiringi lenyapnya mimpi yang kugantung tinggi di awan kelabu. Pun airmata tidak berani muncul untuk melihat betapa gelap duniaku sekarang. Pekat dan suram. Megap-megap sekarat.  Meregang nyawa.

Ya! Semenjak hari itu. Aku rajin mengumpulkan setiap janji yang mengalir dari mulutmu. Kemudian membakarnya dengan tangis yang tiada henti. Disebalik hari duka yang kian murung dan merana.

Atau suatu masa, aku mendatangi setiap tempat yang melukiskan betapa pendosanya kau. Memandang tempat itu dengan menggenggam sekeping hati yang kian ringkih.

Betapa ingin, aku membungkus tempat-tempat itu, kemudian dengan kasar melemparkannya ke samudera putus asaku, tak peduli apakah ia sampai dihatimu atau tenggelam di sesalku.

Ah… aku menangis lagi. Memandang setiap rajutan kenangan yang memintal cintamu dan cintaku dulu.

“Mengapa aku yang menangis kalah?” tanyaku di hari itu. Di sela amarah serta luka menganga. Dan kau? Seperti biasa hanya diam. Menunduk khidmat laksana pengecut durjana.

“Jangan pergi….” bisikku pada ragamu yang masih diam membeku. “Kumohon, sakitilah aku dengan cara lain, bukan dengan jalan meninggalkanku. Karena kehilanganmu sama saja dengan menenggelamkan duniaku.”

Aku meratap waktu itu, seperti anak kecil yang akan ditinggal ibunya di tempat gelap dan sunyi. Tapi kau hanya mematung. Beri isyarat pada inderaku bahwa kau akan tetap pergi. Bersamanya tentu saja!

“Cinta….” ucapmu beberapa waktu kemudian. “Aku takkan pernah kehilanganmu, karena aku tahu, kau abadi dalam relungku. Pun begitu denganmu. Kuingin, aku tetap bertahta di kerajaan hatimu, agar tak ada satupun diantara kita yang merasa kehilangan saat aku pergi dari sisimu.”

Kau tahu? Satu-satunya hal yang paling kusesali di dunia ini adalah mendengar kalimat rongsokan itu meluncur dari bibirmu.

Tahu apa kau soal hati? Mengertikah kau akan arti kehilangan? Dan sepintar apa akalmu hingga tidak bisa menghubungkan akan arti pergi dan kehilangan?

Ingin kujejalkan semua tanya itu ke dalam otakmu yang semakin menciut digerus nafsu menjijikkan.

Ah, sudahlah! Aku mungkin terluka. Namun, bukankah setiap luka ada masa sembuhnya? Dan seharusnya aku takkan membuang ribuan detikku hanya untuk meratapi setiap luka yang kau pahat dengan sempurna.

Dan ajaib! Sekarang aku tak lagi tergugu kala memandang lili putih kesukaanmu. Atau terisak, saat membaca barisan kata yang dulu diam-diam kau kirim untukku.

Begitupun saat kau mendatangiku. dan bercerita, betapa bahagia kau setelah meninggalkanku. Waktu itu, aku hanya tertawa, menertawakan betapa naifnya Aku yang dulu menangis gara-gara lelaki bodoh ini.

0 komentar:

Posting Komentar